Misalnya, dalam sebuah kelas, guru lebih berperan sebagai fasilitator daripada instruktur. Siswa didorong untuk belajar secara mandiri dan berkolaborasi dengan teman-temannya.
Guru memberikan arahan dan dukungan ketika diperlukan, tetapi siswa diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi materi pelajaran sesuai minat dan kemampuan mereka sendiri.
Selain itu, pemikiran Ki Hajar Dewantara juga tercermin dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan tidak membosankan.
Salah satu pengalaman konkret adalah pengintegrasian kegiatan luar kelas, seperti kunjungan ke museum atau kegiatan alam terbuka, ke dalam kurikulum. Hal ini sejalan dengan konsep ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani yang menekankan pentingnya keteladanan, pemberdayaan, dan dorongan dari berbagai posisi dalam proses pendidikan.
Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran juga dapat dilihat sebagai penerapan pemikiran Dewantara yang progresif. Misalnya, penggunaan platform e-learning yang memungkinkan siswa belajar kapan saja dan di mana saja.
Ini memberikan fleksibilitas dan mengakomodasi berbagai gaya belajar siswa, selaras dengan prinsip bahwa pendidikan harus memperhatikan kebutuhan dan potensi setiap individu.
Dengan demikian, pengalaman-pengalaman ini menunjukkan bagaimana pemikiran Ki Hajar Dewantara masih relevan dan dapat diterapkan dalam konteks pendidikan modern, menekankan pentingnya peran guru sebagai pemandu, pentingnya lingkungan belajar yang menyenangkan, serta penggunaan teknologi untuk memperluas akses dan fleksibilitas dalam belajar.***